Jakarta, Harian Umum - Dewan Pakar Centre of Study for Indonesian Leadership (CSIL) HM Mursalin menilai, putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atas aduan warga terkait tindakan KPU yang menerima pencawapresan Gibran Rakabuming Raka meski tidak sesuai Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023, tidak memuaskan.
Pasalnya, putusan itu tidak dapat membatalkan pencawapresan Gibran meski melanggar PKPU tersebut.
"Saya melihat putusan DKPP menyatakan bahwa KPU melanggar etik dengan menerima pencawapresan Gibran, merupakan putusan yang benar, tetapi jika hanya memberikan sanksi berupa teguran keras, itu masih kurang memuaskan," kata Mursalin di Jakarta, Senin (5/2/2024).
Menurut dia, putusan DKPP tidak berimplikasi bahwa KPU harus membatalkan pencawapresan Gibran, karena putusan melanggar etik itu sudah sangat menjelaskan bahwa tindakan KPU bermasalah, sehingga harus ada tindak lanjut dari putusan tersebut.
"Jika putusan itu hanya berhenti pada pemberian sanksi berupa teguran keras, akan menimbulkan asumsi bahwa tindakan KPU yang salah itu memang sengaja dilegalkan, dan ini contoh yang buruk bagi penegakan hukum di Indonesia," katanya.
Tokoh yang juga menjabat sebagai Presiden KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) itu kemudian menyoroti kinerja DPR sebagai lembaga pengawas kinerja eksekutif.
Menurut dia, banyaknya keputusan yang menyimpang dari etika hukum sekarang ini, sebagaimana tercermin dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran sebagai Cawapres nomor urut 2 pada Pilpres 2024, juga tindakan KPU yang menerima pendaftaran Gibran meski tidak sesuai PKPU Nomor 19 Tahun 2023, akibat kesalahan DPR yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya.
Seharusnya, menurut tokoh yang akrab disapa Om Liem itu, DPR bergerak cepat jika ada tindakan-tindakan jajaran eksekutif yang tidak sesuai aturan perundang-undangan dan melanggar etika, bukan diam atau malah menyetujui sebagaimana terjadi pada pengesahan UU Cipta Kerja, UU Kesehatan, revisi UU KPK, dan lain-lain.
'Sekarang ini kalau kita kembalikan masalah Gibran ini ke DPR, ini ibarat nasi sudah menjadi bubur. Apalagi karena Gibran diusung Koalisi Indonesia Maju yang terdiri dari Gerindra, PAN, Golkar dan Demokrat yang punya perwakilan di DPR. Masyarakat juga sudah muak kepada DPR. Lembaga legislatif ini bahkan bisa jadi (ikut) tertuduh dalam wacana perpanjangan masa jabatan presiden yang berkembang beberapa waktu lalu, karena bisa saja DPR sengaja memboncengi wacana itu dengan harapan kalau masa jabatan presiden diperpanjang, masa jabatan mereka yang berakhir tahun ini juga akan diperpanjang' katanya.
Om Liem mengingatkan bahwa kemuakan masyarakat terhadap DPR yang berakumulasi dengan berbagai persoalan bangsa saat ini, termasuk akibat putusan MK dan kebijakan KPU yang dinyatakan melanggar etika oleh DKPP, bisa memicu gerakan ekstraparlementer, dan bahkan bisa memicu kejadian seperti pada 1998.
"Karena itu kita berharap partai-partai (pendukung Gibran) itu, baik PAN, Golkar, Gerindra dan Demokrat melakukan secara moral membuat pernyataan bahwa 'kami menyadari telah melakukan langkah-langkah yang keliru, dan ke depan akan menata lebih bagus'," imbuh Om Liem.
Dia mengakui kalau putusan MK dan tindakan KPU menerima pendaftaran Gibran merupakan bagian dari indikasi kecurangan Pemilu, atau dengan kata lain Pemilu curang sedang berlangsung atau berproses, akan tetapi dia juga mengakui bahwa Konstitusi Indonesia mengatur bahwa untuk mendapat kekuasaan harus melalui Pemilu, dan Pemilu 2024 tinggal menghitung hari karena akan diselenggarakan pada 14 Februari 2024, sehingga bagaimanapun, mau tak mau, Pemilu harus tetap diselenggarakan.
"Tapi kalau Pemilu benar-benar curang, akan terjadi kerusuhan," katanya.
Om Liem berharap, lembaga-lembaga penegak hukum, seperti Polda Metro Jaya, Bareskrim Polri dan PTUN segera menindaklanjuti laporan dan gugatan atas terbitnya putusan MK Nomor 90 yang kental berbau nepotisme, karena dengan menuntaskan kasus itu, maka rakyat dapat melihat bahwa hukum masih dapat ditegakkan di Indonesia.
'Harapan saya laporan-laporan dan gugatan itu dituntaskan," katanya.
Seperti diketahui, PKPU Nomor 19 Tahun 2023 menetapkan syarat Capres/Cawapres minimal berusia 40 tahun, sementara saat mendaftar sebagai Cawapres, Gibran baru berusia 36 tahun.
Tindakan KPU itu merujuk pada putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang bermasalah, karena putusan ini mengubah aturan pada pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, padahal MK bukan lembaga pembuat undang-undang, sehingga tak berwenang mengubah apapun dalam undang-undang tersebut.
Akibat putusan itu, Ketua MK yang juga adik ipar Presiden Jokowi dan notabene merupakan pamannya Gibran, yakni Anwar Usman, dicopot dari jabatannya oleh Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) karena dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran etik berat. Putusan itu bahkan membuat Anwar Usman dilaporkan oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) ke Polda Metro Jaya karena dinilai melanggar UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.
Tak hanya itu, atas tuduhan yang sama, Anwar Usman, Jokowi, Gibran dan istri Jokowi (Iriana) digugat ke PTUN oleh PTDI, dan dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Petisi 100 dan For Asli.
Meski demikian, setelah menerima pendaftaran Gibran dan menetapkannya sebagai Cawapres nomor urut 2, KPU merevisi PKPU Nomor 19/2023 menjadi PKPU Nomor 23/2023 untuk mengadopsi putusan MK. Para penggugat menilai, di sini juga letak pelanggaran etik KPU, karena meski MK telah mengubah aturan dalam pasal 169 huruf q UU Pemilu, tetapi DPR sebagai lembaga pembentuk UU itu, belum bersidang untuk mengubah bunyi pasal 169 huruf q UU Pemilu, sehingga bunyi huruf q itu masih menetapkan bahwa syarat menjadi Capres/Cawapres minimal berusia 40 tahun.
Dalam putusannya, MK menambahkan ketentuan dalam huruf q dengan norma bahwa siapapun dapat menjadi Capres/Cawapres asalkan pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah. Norma inilah yang meloloskan Gibran yang masih berusia 36 tahun karena saat ini dia masih menjabat sebagai walikota Solo.
Penggugat KPU Demas Brian Wicaksono (Perkara nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023), Iman Munandar B (perkara nomor 136-PKE-DKPP/XII/2023), PH Hariyanto (perkara Nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023), dan Rumondang Damanik (perkara nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023). (rhm)