Jakarta, Harian Umum - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2017 mengalami stagnasi karena hanya mampu mencapai angka yang sama dengan kuartal I-2017, yakni 5,01%.
Pelemahan konsumsi masyarakat disinyalir menjadi penyebabnya.
Meski demikian Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro, mengatakan, dugaan penurunan daya beli itu masih perlu diteliti kembali, karena Badan Pusat Statistik (BPS) hanya mengumpulkan data transaksi konvensional, sehingga banyak aktivitas ekonomi digital (transaksi online) yang tidak terdata.
"Pertanyaan besar saya, ya saya memang masih harus mengecek ke BPS; sudahkah kita bisa menangkap denyut dari ekonomi yang non konvensional atau ekonomi digital ini? Karena kalau kita melihat dari segi transaksinya, itu sebenarnya luar biasa besar," kata Bambang kepada pers di Gedung BI, Jakarta, seperti dikutip dari detikcom, Kamis (10/8/2017).
Ia menjelaskan, omzet satu perusahaan dari transaksi online sudah bisa sampai Rp1 triliun per bulan, dan ini angka yang tidak kecil untuk bisnis retail biasa.
Transaksi itu bukan hanya berasal dari pebinis besar online seperti Amazon.com, karena penjualan secara online juga dilakukan melalui akun media sosial seperti Facebook dan Instagram.
"Facebook, Instagram ... kalau itu foto bagus sekali, promosi untuk beli kue lebaran, dan orang akhirnya beli. Itu menjadi transaksi online, tapi informal karena dia bukan perusahaan, (sehingga) enggak tercatat di mana-mana, tapi dia jual beli dan itu cukup besar," tegasnya.
Mantan Menkeu ini menambahkan, data konsumsi masyarakat harus dibuat lebih valid, karena bisa jadi daya beli masyarakat tidak turun, melainkan hanya pola konsumsinya saja yang bergeser ke online.
"Di situlah tentunya kita harus benar-benar menyikapi. Mungkin ada penurunan daya beli, kita tidak bisa pungkiri kalau konsumsi turun. Pertanyaannya sekarang, BPS sudah menangkap belum semua transaksi konsumsi yang terjadi? Dengan makin besar porsi online, tanpa menyalahkan online-nya, tapi kalau BPS masih pakai cara lama dan belum bisa masuk data ke digital tadi, saya khawatirnya belum semua transaksi tertangkap di data statistik," tukas dia.
Untuk memperbaiki data itu, Bambang menyarankan pemanfaatan big data, yaitu kumpulan data yang didapat dari berbagai sumber baik primer maupun sekunder, dan diolah untuk mendapatkan solusi.
Data primer berasal dari laporan bank, non bank, serta survei. Sedangkan data sekunder dari sosial media, portal online, internet search data, satelite images, dan mobile location.
"Sekarang bagaimana kita bisa memanfaatkan big data, saya fokus big data untuk kegiatan ekonomi. Misalnya satu, pemanfaatan data ekspor impor yang di-tracking cargo secara real time. Jadi kapal-kapal itu sekarang, bahkan yang saya tahu di keuangan bea cukai sudah tahu kalau ada kapal cargo, dia berangkat dari Singapura, bea cukai sudah punya data," pungkasnya. (rhm)