Jakarta, Harian Umum- Di masa lalu, saat sarana transportasi belum semaju saat ini, becak menjadi salah satu sarana transportasi pavorit bagi warga Jakarta, karena kendaraan tradisional beroda tiga ini lah yang merajai jalan-jalan Ibukota yang tentunya dulu masih belum beraspal, dan selalu berdebu di saat musim kemarau.
Kemudian, seiring berjalannya waktu dan kemajuan zaman, becak dianggap sebagai kendaraan kuno yang tak lagi layak berada di Ibukota semegah Jakarta. Bahkan keberadaan kendaraan yang melaju dengan cara dikayuh itu dinilai melanggar HAM karena menggunakan tenaga manusia, bukan mesin.
Upaya pemberangusannya pun telah dilakukan selama puluhan tahun, tepatnya sejak 1967. Bahkan pada 1970 Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan instruksi pelarangan memproduksi dan memasukkan becak ke Jakarta, dan melakukan rayonisasi becak. Namun becak seakan memiliki mantra sakti karena tak pernah dapat benar-benar dihapuskan dari Jakarta.
Pada perhelatan kampanye Pilkada DKI Jakarta 2017, pasangan gubernur dan wakil gubernmur yang diusung Gerindra dan PKS, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, membuat kontrak politik dengan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK). Isinya antara lain mengizinkan becak beroperasi lagi di Ibukota.
Untuk melaksanakan janji itu dan janji-janji lain yang disepakati, maka disusunlah sebuah program yang dinamai Program community action planning (CAP).
Anies-Sandi menang dari pasangan Ahok-Djarot yang diusung koalisi PDIP, dan janji harus dipenuhi. Maka setelah dilantik pada Oktober 2017, pada 14 Januari 2018 program dilaunching di Waduk Pluit, Jakarta Utara. Dalam kesempatan itu Anies menjelaskan, CAP hanya dilaksanakan di 16 kampung di Jakarta, dan pelaksanaannya dikolaborasikan dengan warga Ibukota.
"Program ini bertujuan untuk mengubah kualitas hidup masyarakat miskin atau masyakarat yang tidak sejahtera. Kita ingin Jakarta benar-benar terasa milik semuanya, karena Jakarta bukan milik sebagian orang. Yang belum sejahtera pun harus merasa ikut memiliki Jakarta," kata mantan Mendikbud itu.
Anies tegas mengatakan bahwa karena hanya diselenggarakan di 16 kampung, maka becak tidak dapat beroperasi secara sembarangan, hanya di ke-16 kampung itu dengan rute-rute yang akan ditentukan. Tak boleh masuk jalan protokol.
"Bagian Community Action Plan ini mengatur agar abang becak bisa beroperasi di rute yang ditentukan untuk angkutan lingkungan," ujarnya.
Tentu, untuk merealisasikan janji itu Anies harus merevisi Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Tibum), karena Perda ini melarang becak beroperasi di Jakarta, namun ia mendapat batu sandungan.
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi menolak melakukan revisi karena tidak setuju keberadaan becak dilegalkan. Politisi PDIP ini bahkan meminta Anies untuk mencari alternatif transportasi lain selain becak karena menurutnya, Jakarta hanya cocok dengan transportasi modern.
"Enggak bakalan ada becak di Jakarta. Enggak bakal terealisasi," tegasnya kepada pers di Gedung Dewan, Jakarta Pusat.
Pras bahkan mengusulkan kepada Anies agar mengembangkan transportasi yang sesuai dengan kebutuhan warga yang tidak bertolak belakang dengan perkembangan zaman.
"Sudah saatnya Jakarta memiliki transportasi angkutan orang yang modern, canggih, seperti ibukota-ibukota negara lainnya," katanya.
Pras khawtir jika becak dilegalkan, tukang becak dari daerah akan berbondong-bondong ke Jakarta, sehingga Ibukota menjadi semrawut.
Meski demikian, Anies keukeuh akan merealisasikan janjinya itu. Ia bahkan telah membangun halte khusus becak di kawasan Teluk Gong, Kelurahan Pejagalan, Penjaringan, Jakarta Utara. Pembangunan halte itu difasilitasi oleh kelurahan setempat.
Apakah Anies mampu memaksa DPRD untuk merevisi Perda Tibum? Kita tunggu saja.
Berikut perjalanan sejarah becak di Ibukota dari waktu ke waktu. Data dikutip dari kompas.com.
1936: Becak mulai beroperasi di Jakarta tujuh tahun kemudian jumlah becak sudah mencapai 3.900 unit.
1951: Jumlah becak di Jakarta tercatat 25.000 yang dikemudikan oleh 75.000 orang dalam tiga shift.
1967: Saat DPRD-GR Jakarta mengesahkan perda tentang pola dasar dan rencana induk Jakarta 1965-1985, yang antara lain tidak mengakui becak sebagai kendaraan angkutan umum.
1970: Gubernur DKI Ali Sadikin, mengeluarkan instruksi melarang memproduksi dan memasukkan becak ke Jakarta, termasuk rayonisasi becak. Tahun tersebut jumlah becak diperkirakan 150.000 becak, yang dikemudikan 300.000 orang dalam dua shift. Tahun berikutnya Pemda menetapkan sejumlah jalan protokol dan jalan lintas ekonomi tidak boleh dilewati becak.
1972: DPRD DKI mengesahkan Perda no. 4/1972, menetapkan becak, sama dengan opelet, bukan jenis kendaraan yang layak untuk Jakarta. Saat itu becak berkurang dari 160.000 menjadi 38.000.
1988: Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto dalam instruksi No 201/1988, memerintahkan para pejabat di lima wilayah kota untuk melakukan penyuluhan terhadap pera pengusaha dan pengemudi becak dalam rangka penertiban becak di jalan sampai penghapusan seluruh becak dari Jakarta. Saat itu becak tercatat 22.856 becak.
1990: Pemda DKI memutuskan becak harus hilang dari Jakarta, Kesabaran selama 20 tahun untuk membiarkan becak tetap ada di jalanan dianggap sudah cukup sebagai tenggang rasa dari Pemda DKI. Awal tahun 1990 becak yang masih tersisa di Jakarta, tercatat berjumlah sekitar 6.289 becak. Becak dilarang beroperasi di Ibu Kota sejak April 1990, ditetapkan melalui Perda No 11/1988.
24 Juni 1998: Gubernur DKI Sutiyoso menyatakan, Selama masa krisis ekonomi, angkutan umum yang disebut becak dibolehkan beroperasi di Ibu Kota. Bila situasi dan kondisi ekonomi sudah pulih kembali, maka larangan becak beroperasi di kawasan hukum Ibu Kota diberlakukan lagi.
25 Juni 1998: Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menginstruksikan kepada Wali Kota se-DKI Jakarta agar membina kehadiran becak selama resesi ekonomi, dengan cara memberi tempat operasi, supaya tidak mengganggu ketertiban umum. Lokasi beroperasinya becak, kata Sutiyoso, hanyalah di jalan-jalan lingkungan yang tidak dijangkau oleh kendaraan bermotor, dan roda empat.
29 Juni 1998: Izin lisan yang diberikan Gubernur Sutiyoso yang membolehkan beroperasinya angkutan umum becak di Jakarta, ditarik kembali. Dengan demikian, becak dilarang beroperasi di wilayah hukum DKI Jakarta. Meski usia izin lisan itu hanya sempat berlaku tujuh hari, namun jumlah becak yang masuk ke Jakarta sudah mencapai sekitar 1.500 buah.
10 Maret 1999: Sedikitnya 800 pengayuh becak dengan mengendarai 400 becak mendatangi Balaikota DKI Jakarta. Mereka yang berada di sana sejak pagi ingin bertemu Gubernur Sutiyoso untuk menyampaikan tuntutan agar becak diperbolehkan beroperasi di wilayah permukiman dan jalan nonprotokol Ibu Kota. Di samping itu, mereka juga meminta Pasal 18 Peraturan Daerah (Perda) No 18/1998 tentang pelarangan becak di Jakarta diubah.
15 April 1999: Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta menolak untuk mengubah Peraturan Daerah (Perda) DKI No 11/1988 tentang pelarangan becak beroperasi di Ibu Kota. Namun begitu, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso tetap menawarkan alih profesi para pengemudi becak tersebut melalui program Jaring Pengaman Sosial (JPS).
9 November 1999: Sekitar 5.000 pengayuh becak, yang dipimpin Ketua Konsorsium Kemiskinan Kota, Wardah Hafidz berunjuk rasa ke Gedung DPRD DKI dan menuntut Perda No 11/1998 dicabut. Saat menerima perwakilan para pengayuh becak, Wakil Ketua DPRD DKI Tarmidi Suharjo menyatakan setuju untuk mencabut perda tersebut.
10 November 1999: Becak tetap dilarang beroperasi di wilayah DKI Jakarta, sebab Peraturan Daerah (Perda) No 11/1998 masih berlaku. Pasal 18 Perda No 11/1998 melarang orang atau badan membuat, menjual, dan mengoperasikan becak di wilayah Ibu Kota tegas Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.
31 Januari 2000: Ratusan pengayuh becak yang dimotori Konsorsium Kemiskinan Kota, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dipimpin Wardah Hafidz, berunjuk rasa ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. Mereka masih mengajukan tuntutan lama, yaitu pencabutan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di Ibu Kota yang melarang becak beroperasi.
15 Februari 2000: Wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan dinyatakan bersih dari becak sejak diadakan operasi mulai Desember tahun 1999. Dari 6.649 becak yang tercatat beroperasi di Jakarta, sekarang tinggal 3.519 yang tersebar di Jakarta Pusat, Jakarta Utara, dan Jakarta Barat.
"Pembersihan becak masih terus dijalankan terutama di beberapa kantung yang jadi konsentrasi angkutan tersebut," kata Kepala Bidang Pengumpulan dan Pengolahan Data Pusat Pengendalian Ketegangan Sosial DKI, Raya Siahaan.
17 Februari 2000: Sebanyak 139 koordinator pangkalan becak yang mewakili sekitar 5.000 tukang becak di wilayah DKI Jakarta (penggugat) melalui kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menggugat Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso (tergugat). Sutiyoso dinilai melanggar Peraturan Daerah (Perda) No 11/1988 tentang Ketertiban Umum dalam Wilayah DKI Jakarta. Gugatan itu didaftarkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
28 Februari 2000: Koordinator Urban Poor Consortium (UPC) Wardah Hafidz bersama staf Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Daniel Panjaitan serta sebelas tukang becak, ditangkap dan dibawa ke Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya. Penangkapan tersebut menyusul aksi unjuk rasa yang mereka lakukan sejak pagi di Istana Merdeka, Jakarta. Namun demikian, polisi tidak menahan mereka. Setelah dimintai keterangan oleh aparat Polda Metro Jaya, Wardah dan kawan-kawan dipulangkan.
31 Juli 2000: Ratusan tukang becak memekik kegirangan usai putusan sidang perkara gugatan tukang becak (penggugat) terhadap Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso (tergugat) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Ketua Majelis Hakim Manis Soejono dalam putusannya menyatakan, penggugat dapat melaksanakan pekerjaan sebagai penarik becak di jalan-jalan permukiman dan pasar.
1 Agustus 2000: Meskipun kalah melawan para pengayuh becak di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Gubernur DKI Sutiyoso terus merazia becak. Sutiyoso juga menolak memberikan ruang gerak atau tempat beroperasi bagi becak, sekalipun di kawasan terbatas.
6 November 2000: Sekitar 400 warga yang menuntut penghapusan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban, melakukan unjuk rasa di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. Warga yang terdiri dari para pemulung, pedagang kaki lima, tukang becak, dan anggota keluarganya itu, berunjuk rasa dibawa oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) Urban Poor Consortium (UPC) pimpinan Wardah Hafidz.
19 Juli 2001 Ribuan tukang becak, pedagang kaki lima, pengamen, dan pengemis, Kamis (19/7) siang melakukan unjuk rasa di Balaikota DKI Jakarta menuntut pencabutan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum.
13 Agustus 2001 Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta mengadakan operasi "penggarukan" becak secara serentak di lima wilayah DKI Jakarta.
2012-2017 Pemprov DKI Jakarta yang secara berturut-turut dipimpin Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dan Djarot Saiful Hidayat tetap mengikuti aturan yang berlaku dengan melarang becak beroperasi di Jakarta.
2018, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ingin kembali menghidupkan becak di Jakarta. Salah satu caranya dengan membuat rute khusus yang bisa dilalui moda transportasi tradisional itu. (rhm)