Jakarta, Harian Umum - Pengamat Intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah menilai pernyataan Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra tentang posisi kepolisian yang berada di tangan presiden dan DPR, bukan sekadar penjelasan konstitusional semata.
Menurut dia, pernyataan itu merupakan sinyal politik kuat dari Istana bahwa struktur Polri bisa saja diarahkan untuk berada di bawah koordinasi kementerian tertentu, seperti halnya lembaga penegak hukum di banyak negara.
“Pernyataan Yusril bukan spontan. Ia adalah bagian dari sinyal yang dikirim Istana bahwa sudah saatnya posisi Polri dikaji ulang secara kelembagaan. Ini bukan soal melemahkan, tapi soal memperkuat kendali dan tata kelola hukum nasional,” kata Amir di Jakarta, Selasa (21/10/2025).
Menurut dia, selama ini Polri memang berada langsung di bawah presiden berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Namun, dalam praktiknya posisi ini seringkali menimbulkan tumpang tindih koordinasi, terutama dalam hal penegakan hukum, penataan anggaran, dan hubungan dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan dan KPK.
“Jika Polri berada di bawah kementerian, misalnya Kementerian Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, maka akan ada kesatuan kebijakan hukum nasional yang lebih terarah, karena kebijakan hukum, keamanan, dan penegakan hukum tidak akan berjalan di rel yang berbeda,” jelasnya.
Amir menilai, gagasan ini tidak datang tiba-tiba karena sejak awal memerintah, Presiden Prabowo sudah memberi isyarat perlunya reformasi kelembagaan besar-besaran, termasuk pada sektor hukum dan keamanan. Kritik publik terhadap kinerja kepolisian, menurutnya, justru dijadikan “bahan bakar legitimasi” bagi Presiden untuk melakukan perubahan yang sebelumnya sulit disentuh.
Amir bahkan melihat langkah politik Presiden Prabowo sangat terukur. Dengan membiarkan publik dan sejumlah tokoh mengkritisi kepolisian, termasuk munculnya wacana agar Polri berada di bawah kementerian, Prabowo seolah memberi ruang bagi wacana itu tumbuh secara alami di masyarakat.
“Begitu wacana itu menguat dan dianggap rasional oleh publik, maka Prabowo tinggal mengambil posisi sebagai pemimpin yang merespons aspirasi rakyat. Strategi ini membuat keputusan besar seperti restrukturisasi Polri tidak terlihat sebagai langkah sepihak,” tegas Amir.
Ia menambahkan, dukungan DPR terhadap kebijakan-kebijakan Prabowo selama ini sangat kuat, sehingga tidak akan sulit jika ide reformasi kelembagaan Polri itu benar-benar diajukan secara resmi.
Ia bahkan meyakini DPR akan langsung menyetujui, karena mayoritas partai koalisi sudah solid di belakang Prabowo.
"Jadi, dari sisi politik jalannya sangat terbuka,” katanya.
Jika gagasan ini benar-benar diimplementasikan, maka menurut Amir, Indonesia akan memasuki era baru hubungan antara kekuasaan eksekutif dan penegakan hukum. Kementerian yang mengoordinasikan kepolisian akan memiliki fungsi strategis dalam pembentukan kebijakan hukum, pengawasan etik, serta akuntabilitas publik terhadap aparat penegak hukum.
“Ini bisa memperkuat sistem checks and balances internal. Selama ini, pengawasan Polri oleh Presiden seringkali bersifat administratif, bukan substantif. Dengan berada di bawah kementerian, fungsi pengawasan bisa lebih sistematis dan terukur,” ujarnya.
Namun Amir juga mengingatkan, perubahan struktur sebesar itu memerlukan legitimasi publik yang kuat serta kajian hukum yang matang agar tidak menimbulkan resistensi di internal kepolisian maupun lembaga lain.
Bagi Amir, pernyataan Yusril dan dinamika publik yang menyertainya menunjukkan bahwa Istana sedang menyiapkan peta jalan baru reformasi kelembagaan hukum dan keamanan nasional.
“Ini bukan sekadar wacana birokrasi. Ini bagian dari desain besar Prabowo untuk mengkonsolidasikan kekuasaan eksekutif sekaligus memastikan seluruh lembaga penegak hukum bergerak seirama dengan visi pemerintahan,” ujarnya.
Jika benar Polri kelak ditempatkan di bawah kementerian, langkah itu akan menjadi salah satu keputusan politik paling berani dalam sejarah reformasi. (rhm)