Jakarta, Harian Umum - Pemerhati Politik dan Kebangsaan Muhammad Rizal Fadillah kembali mendesak agar Presiden Prabowo Subianto segera mencopot Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Desakan itu disampaikan menyusul persetujuan Prabowo atas permintaan Gerakan Nurani Bangsa (GNB) agar membentuk tim atau komisi reformasi kepolisian saat pertemuan di Istana Negara, Jakarta, Kamis (11/9/2025).
"Informasi penting dari pertemuan Gerakan Nurani Bangsa yang dipimpin Menteri Agama (Nasaruddin Umar) dengan Presiden Prabowo adalah disepakati adanya tim investigasi independen untuk mengusut kerusuhan 28-31 Agustus lalu, dan pembentukan tim atau komisi reformasi Kepolisian sebagaimana banyak dituntut dan disuarakan oleh rakyat Indonesia," kata Rizal melalui siaran tertulis, Sabtu (13/9/2025).
Ia kemudian mengulas persetujuan Prabowo untuk membentuk tim investigasi independen ,karena ini terkait dengan demo menuntut pembubaran DPR yang diawali pada tanggal 25 Agustus 2025, dan berujung ricuh.
Kericuhan terjadi lagi pada demo tanggal 28 Agustus 2025 yang berkembang menjadi kerusuhan setelah seorang pengemudi Ojol bernama Affan Kurniawan tewas dilindas kendaraan taktis Barakuda Brimob di Jalan Pejompongan, Jakarta Pusat, pada tanggal 28 Agustus malam, dan berlanjut hingga 31 Agustus. Kerusuhan itu bahkan meluas ke berbagai daerah.
Kerusuhan itu bahkan diwarnai penjarahan terhadap rumah sejumlah anggota DPR, seperti Ahmad Sahroni, Uya Kuya dan Eko Patrio, dan juga terjadi penjarahan di rumah Sri Mulyani yang kala itu masih menjabat sebagai Menteri Keuangan.
Rizal melihat, kerusuhan itu berdisain dan bertendensi mengganggu pemerintahan Prabowo, sehingga mencuatkan spekulasi bahwa ada dalang di balik aksi rusuh itu.
"Geng Solo dicurigai, enam lembaga HAM termasuk, Komnas HAM, membentuk tim independen, sementara Kepolisian disorot karena peran dan tindakan yang berlebihan," kata Rizal.
Ia menyebut, saat ini Presiden Prabowo sedang menyiapkan Kepres pembentukan Tim Reformasi Kepolisian yang konon akan diisi oleh kalangan profesional dan mantan pejabat tinggi Kepolisian.
"Belum ditentukan aspek apa saja yang menjadi obyek reformasi, apakah struktural, fungsional, atau sikap mental. Nampaknya reformasi mendasar dan menyeluruh mesti dilakukan," tegas Rizal.
Ia mengungkap bahwa sudah menjadi pengetahuan umum atau fakta notoir bahwa selama rezim Jokowi berkuasa (2014-2024), Kepolisian memiliki kekuasaan yang sangat besar.
"Kekuasaan politik, baik pusat maupun daerah, hanya bisa didapat dan atau dipertahankan jika mampu berkolaborasi dengan polisi. Demikian juga kekuasaan ekonomiz dapat langgeng dan aman dengan proteksi Kepolisian. Polisi adalah kekuatan politik," tegas Rizal.
Menurut pengamat asal Bandung ini, sejak Kapolri Tito Karnavian membuat konsep democratic policing, maka multifungsi kepolisian berjalan. Berbagai Perkap dibuat, sehingga penegakan hukum menjadi "out of control" dan tidak konsisten dengan KUHAP. Sementara lembaga pengawas, seperti Kompolnas, cenderung menjadi subordinat dan dipimpin oleh figur tidak independen. Budi Gunawan sebagai ketua, dan Tito Karnavian wakil ketua.
"Reformasi membutuhkan waktu, termasuk revisi Undang-Undang Kepolisian. Karenanya, demi kelancaran, sekaligus ada langkah cepat sebagai bukti terjadi reformasi, maka segera ganti Kapolri Listyo Sigit. Sudah terlalu banyak alasan bagi penggantiannya. Kasus aksi kerusuhan teranyar yang menyebabkan 10 orang tewas menjadi bagian dari tanggung jawab Listyo Sigit," kata Rizal.
Menurut dia, ketika mundur sukarela menjadi perilaku langka, maka absolut untuk memundurkannya.
"Ini batu uji (touch stone) atas semangat reformasi. Tanpa segera mengganti Kapolri yang memang sudah terlalu lama menjabat, maka reformasi Kepolisian itu hanya omong kosong," pungkas Rizal. (rhm)