Jakarta, Harian Umum - Pengamat Intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah menyebut Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa berada pada posisi yang rawan karena secara frontal bertentangan dengan kepentingan pemerintahan yang lalu (Presiden Jokowi).
Salah satu kebijakan Purbaya yang membuat posisinya menjadi rawan adalah karena dia menolak menggunakan APBN untuk membayar utang Kereta Cepat Whoosh kepada China sebesar Rp116 triliun.
"Purbaya bukan orang partai dan tidak punya jaringan perlindungan di DPR, sehingga sangat lemah secara politik dan mudah diserang. Sekarang saja Komisi XI DPR sudah mulai menyorotnya. Dalam bahasa intelijen, itu tanda-tanda operasi tekanan yang terstruktur,” kata Amir di Jakarta, Jumat (24/10/2025).
Ia mengakui, sumber masalah Purbaya bermula ketika dia secara terbuka menolak wacana menggunakan APBN untuk membayar utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung atau Whoosh, karena menurutnya, utang itu seharusnya ditanggung oleh pihak konsorsium (PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia/PSBI) dan pemegang saham, bukan menjadi beban rakyat melalui anggaran negara.
'Pernyataan itu memicu reaksi keras. Komisi XI DPR menilai Purbaya bersikap kaku dan kurang komunikatif. Beberapa anggota Dewan bahkan menuding pernyataan Purbaya 'berpotensi mengganggu proyek strategis nasional'," kata Amir.
Sumber internal DPR menyebut sejumlah fraksi sudah menyiapkan rapat dengar pendapat khusus untuk membahas langkah Purbaya yang dianggap keluar dari kebijakan makro pemerintah.
Menurut Amir Hamzah, Purbaya kini berhadapan dengan dua kekuatan besar: mantan Presiden Joko Widodo (yang masih punya pengaruh besar pasca Pilpres 2024) dan Luhut Binsar Pandjaitan, tokoh utama dalam proyek infrastruktur strategis..
“Purbaya menolak mekanisme pembiayaan yang selama ini dikelola kelompok pro-Luhut. Ini jelas benturan kepentingan besar. Apalagi Jokowi masih punya jejak pengaruh dalam pemerintahan Prabowo. Kalau Purbaya bersikeras, dia akan diisolasi politiknya, lalu disikat lewat isu kinerja,” kata Amir.
Dalam dunia intelijen, lanjut dia, mekanisme tekanan politik bisa berjalan halus, mulai dari pembingkaian media, desakan di parlemen, hingga narasi publik tentang “ketidakmampuan berkoordinasi”.
“Ini bukan sekadar kritik kebijakan, tapi operasi pembentukan persepsi,” tegas Amir.
Pengamat berbasis militer dan intelijen ini menggambarkan tiga tahapan pola tekanan yang sedang berjalan:
- Tahap pertama: Politisasi Media.
Narasi yang menyerang Purbaya mulai muncul di sejumlah pemberitaan, menuding Kemenkeu lamban dan tak seirama dengan kabinet.
- Tahap kedua: Tekanan Legislatif.
Komisi XI mulai aktif memanggil Menkeu, meminta klarifikasi, bahkan menilai komunikasi Purbaya buruk.
- Tahap ketiga: Isolasi Politik.
Dukungan antar-menteri terhadap Purbaya melemah, sehingga bila Presiden menilai situasi ini bisa mengganggu stabilitas, reshuffle menjadi langkah politik yang mudah dilakukan.
“Kalau tekanan itu berlanjut hingga akhir tahun, saya memperkirakan reshuffle bisa terjadi awal 2026. Ini bukan soal kapasitas, tapi keseimbangan politik kekuasaan,” ucap Amir.
Secara teknokrat, Purbaya dikenal rasional dan berhati-hati terhadap beban fiskal. Namun, di dunia politik, sikap tegas sering diartikan sebagai perlawanan.
“Purbaya tidak salah secara ekonomi, tapi dalam politik kekuasaan, benar secara teknis belum tentu aman secara politik,” jelas Amir.
Ia juga mengingatkan bahwa keputusan-keputusan fiskal besar seperti proyek Whoosh memiliki dimensi geopolitik karena melibatkan investasi asing dan kontrak antarnegara.
“Penolakan Purbaya bisa dibaca sebagai ancaman bagi investor tertentu. Itulah kenapa tekanan datang dari banyak arah,” tambahnya.
Dalam pandangan Amir, Komisi XI DPR menjadi kanal formal untuk mendorong tekanan politik. Melalui serangkaian rapat kerja dan evaluasi, DPR dapat membangun opini bahwa Purbaya tidak mampu menjaga koordinasi ekonomi nasional.
“Ketika opini ini terbentuk, Presiden akan diberi dua opsi: mempertahankan dengan risiko citra kabinet terganggu, atau menggantinya dengan figur yang lebih ‘kooperatif’. Biasanya, pilihan kedua yang diambil,” jelas Amir.
Sejumlah sumber internal pemerintahan membenarkan bahwa pembahasan soal reshuffle kabinet ekonomi sudah pernah muncul dalam rapat terbatas. Namun, belum ada keputusan final dari Presiden Prabowo.
Amir memperkirakan, jika tekanan politik meningkat, nama Purbaya bisa masuk dalam daftar evaluasi.
“Tekanan terukur seperti ini sering kali menjadi awal dari rotasi jabatan. Terutama kalau ada desakan dari kelompok yang merasa dirugikan,” katanya.
Situasi Purbaya menunjukkan bahwa dunia kebijakan ekonomi tidak pernah lepas dari intrik politik dan kepentingan kekuasaan. Di satu sisi, ia mempertahankan integritas fiskal. Di sisi lain, ia harus berhadapan dengan kekuatan politik dan bisnis yang besar.
“Dalam terminologi intelijen, ini bukan sekadar konflik kebijakan, tapi power realignment — penyesuaian ulang kekuasaan setelah pergantian pemerintahan. Dan dalam penyesuaian semacam ini, yang tidak punya perlindungan politik sering kali menjadi korban pertama,” tutup Amir Hamzah.
Seperti diketahui, Whoosh merupakan proyek ambisius pribadi Jokowi yang terbukti tidak menguntungkan. Sebab, pada tahun 2024 Whoosh rugi Rp4 triliun lebih, sementara pada Januari-Juni 2025 Whoosh rugi Rp1,62 triliun.
Di sisi lain, kemampuan Danantara untuk mengatasi utang Whoosh juga diragukan, terbukti dengan adanya upaya Danantara untuk dapat merestrukturisasi utang tersebut. (man)







