Jakarta, Harian Umum - Kedatangan Paus Fransiskus ke Myanmar sejak Senin (27/11/2017) seharusnya membawa harapan semangat bagi etnis Rohingya. Pasalnya kedatangan pemimpin Gereja Katolik Roma itu adalah akan memperjuangkan nasib mereka yang mendapat perlakuan kejam dari tentara fasis Myanmar.
Namun, dalam pertemuan yang terlah berjalan tiga hari tersebut Panglima Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing dan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi, Fransiskus sama sekali tak menyebut kata "Rohingya".
Senada dengan Fransiskus, Suu Kyi dalam pidatonya juga sama sekali tak menyebut Rohingya.
Dia menyebut krisis di Rakhine hanyalah satu dari segala tantangan yang tengah dihadapi pemerintahannya.
“Kami membangun pemerintahan yang berlandaskan pada perdamaian dengan melindungi hak, toleransi, dan memastikan keamanan setiap etnis yang ada,” tutur Suu Kyi.
Paus yang berusia sekitar 80 tahun itu menggantinya dengan "krisis kemanusiaan yang tengah terjadi di Myanmar". Fransiskus sengaja tidak menyebut untuk menghindari bangkitnya sentimen rakyat Myanmar kepada Rohingya.
Karena itu, Kyaw Naing, pengungsi Rohingya yang mengungsi di kamp dekat Rakhine, mengaku sangat kecewa dengan Fransiskus.
Naing berkata, mereka sangat senang ketika mendengar Fransiskus datang untuk melawat mereka. Namun, kegembiraan itu pupus manakala Fransiskus dilarang menyebut mereka.
"Beliau adalah orang suci. Namun, sangat menyedihkan ketika orang suci bahkan tidak menegaskan identitas kami," keluh Naing seperti dilansir Associated Press via ABC News, Selasa (28/11/2017).
Paus pun sebelumnya menggunakan istilah "saudara laki-laki dan perempuan Rohingya kami" saat menentang kekerasan tersebut. Namun satu-satunya kardinal Katolik dari Myanmar telah meminta dia untuk tidak menggunakan istilah itu dalam perjalanannya, untuk mencegah tersinggungnya perasaan lokal.
Selain Rohingya, Wakil Direktur Lembaga Pengawas HAM (HRW) Divisi Asia Phil Robertson juga menyayangkan hal serupa.
Menurut Robertson, Rohingya harus secara tegas dibahas dalam pertemuan dengan dua pemimpin tertinggi Myanmar tersebut. Sebab, hak dan status mereka sebagai warga negara Myanmar terenggut dengan paksa.
"Saya harap Sri Paus bersedia menyebutkan mereka ketika memimpin misa Rabu (29/11/2017)," ujar Robertson.
Akibat operasi militer yang dilakukan Myanmar, 620.000 etnis Rohingya mengungsi di Distrik Cox's Bazaar di Bangladesh.
Sebagaimana diketahui, kata ‘Rohingya’ adalah hal yang tak diinginkan militer dan masyarakat Myanmar, karena berarti sebuah pengakuan entitas Muslim.
Sejak 1982, Myanmar telah menghapus Rohingya dari daftar kewarganegraan, dan menyebut mereka sebagai “Bengalis” kata olok-olok untuk etnis Muslim yang telah hidup selama ratusan tahun di Rakhine.
“Kedamaian hanya bisa dicapai melalui penghormatan akan hak asasi dan keadilan. Termasuk kepada setiap etnis dan identitas mereka,” kata Fransiskus dilansir kantor berita AFP.(tqn)