Jakarta, Harian Umum- Kejaksaan Agung (Kejagung) menahan Tri Wiyasa, tersangka dugaan korupsi pembangunan Tower Bank Jabar (BJB) di Jalan Gatot Subroto Kaveling 93 Jakarta Selatan, di Rumah Tahanan (Rutan) Negara Salemba Cabang Kejagung.
Tri Wiyasa merupakan Direktur Utama PT Comradindo Lintasnusa Perkara (CLP) dan sempat buron, sehingga masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
"Kami menetapkan Tri Wiyasa sebagai tersangka pada Rabu (17/1/2018), dan langsung ditahan sampai 20 hari ke depan," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Adi Toegarisman di Jakarta, Rabu (17/1/2018) malam.
Kejagung tercat dua kali menetapkan Tri Wiyasa sebagai tersangka, karena pada penetapan yang pertama Tri mempraperadilankan Kejagung ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan atas penetapan itu, dan menang, sehingga statusnya sebagai tersangka, gugur.
Selain Tri, tersangka lain kasus ini adalah Wawan Indrawan, Kepala Divisi Umum Bank Jawa Barat (BJB). Namun Wawan telah penjara di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, karena putusan MA atas pengajuan kasasinya, ditolak, dan MA menguatkan putusan PN maupun Pengadilan Tinggi (PT) bahwa dia bersalah dan dihukum 8 tahun penjara.
"Dengan putusan terhadap terpidana Wawan yang memiliki kekuatan hukum tetap, penyidik meyakini bahwa penyidikan dugaan korupsi itu sudah benar. Kami tentunya tidak diam dan memeriksa kembali proses persidangan terpidana Wawan hingga berkeyakinan Tri Wiyasa terlibat dalam kasus itu," imbuh JAM Pidsus.
Kasus ini berawal dari direksi Bank BJB yang berhasrat memiliki kantor cabang di Jakarta, dan membeli 14 dari 27 lantai gedung T-Tower di Jalan Gatot Subroto Kaveling 93, Jakarta Selatan.
Agar rencana berjalan mulus, pihak BJB bernegosiasi dengan PT CLP, perusahaan teknologi informasi yang mengklaim sebagai pemilik lahan di Kav 93 tersebut. Ternyata ada kesepakatan terkait dengan harga pembelian tanah Rp 543,4 miliar.
Hasil rapat direksi BJB, manajemen menyetujui membiayai dengan uang muka 40% atau sekitar Rp217,36 miliar pada 12 November 2012, dan sisanya dicicil sebesar Rp27,17 miliar/bulan hingga satu tahun.
Kejanggalan transaksi itu perlahan diketahui, mulai dari kepemilikan status tanah sehingga rawan terjadi sengketa, harga tanah jauh di atas harga pasar, hingga pembayaran uang muka yang menyalahi ketentuan.
Tal hanya itu, PT CLP ternyata kemudian ketahuan bergerak di bidang informasi teknologi, bukan properti, sehingga akibat kecerobohan manejemen Bank BJB dan tidak profesionalnya PT CLP, negara menderita kerugian Rp217 miliar. (rhm)







