Jakarta, Harian Umum- Tiga gubernur DKI Jakarta pada periode 2012-2017 bakalan tak bisa hidup tenang, karena sejumlah kasus yang terjadi di era mereka akan dibawa ke jalur hukum.
Ketiganya adalah mantan Gubernur Joko Widodo yang saat ini menjabat sebagai presiden RI ke-7, mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang saat ini menjadi terpidana kasus penistaan agama dengan vonis 2 tahun penjara, dan mantan Gubernur Djarot Saiful Hidayat yang menjadi calon gubernur (cagub) di Pilkada Sumatera Utara 2018.
"Waktu acara dialog tentang penggunaan CSR di kantor DPP Lira kemarin (Selasa), saya usulkan agar kami, para LSM di Jakarta, membentuk sebuah wadah, entah komite atau apa pun namanya, yang nanti akan menggugat permasalahan yang muncul di Pemprov selama periode 2012-2017," ujar Ketua Aliansi Masyarakat Jakarta (Amarta) M Rico Sinaga di Jakarta, Rabu (28/2/2018).
Ia mengakui, di era pemerintahan yang mencatat sejarah itu, karena dalam lima tahun Jakarta memiliki tiga gubernur, merupakan era pemerintahan yang memiliki paling banyak masalah, sehingga pengelolaan keuangannya sekali mendapat penilaian disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan empat kali mendapatkan WDP (wajar dengan pengecualian) .
Di era pemerintahan sebelumnya, yakni di era Gubernur Fauzi Bowo, Pemprov DKI pernah mendapatkan WTP (wajar tanpa pengecualian).
"Bahkan di periode ini juga muncul kasus-kasus berindikasi korupsi yang menarik perhatian publik, seperti kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang merugikan Pemprov DKI Rp191 miliar, pembelian lahan Dinas Kelautan di Cengkareng yang merugikan Pemprov DKI Rp668 miliar, dan suap pembahasan Raperda yang akan menjadi payung hukum proyek reklamasi di Teluk Jakarta," imbuhnya.
Meski demikian Rico mengatakan, yang akan digugat dirinya dan para LSM di Jakarta adalah kasus-kasus yang hingga saat ini belum masuk jalur hukum, namun memiliki aroma korupsi atau gratifikasi yang sangat kuat.
Kasus-kasus itu di antaranya penerimaan dan penggunaan dana corporate social responsibility (CSR) dari para pengembang pemilik proyek reklamasi di Teluk Jakarta, penggunaan dana kompensasi kelebihan koefisien lantai bangunan (KLB), dan tunggakan kewajiban pengembang menyerah fasos/fasum yang pada 2016 saja nilainya mencapai Rp165 triliun.
Ia menegaskan bahwa selain penerimaan dan pengelolaan dana-dana itu tidak memiliki dasar hukum, bagaimana proses masuknya dana-dana itu dan bagaimana pengelolaannya, juga sama sekali tidak transparan dan tidak melibatkan DPRD.
Tak hanya itu, dana-dana itu pun tidak masuk ks daerah dan tidak dikelola oleh Pemprov DKI, namun digunakan untuk membangun aset-aset Pemprov, karena dana-dana itu masuk ke Ahok Centre dan dikelola sendiri oleh Ahok dan orang-orang kepercayaannya.
"Padahal UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah jelas mengatakan, aset Pemda dibangun dengan dana dari APBD," tegas Rico.
Selain hal tersebut, ia juga mengatakan kalau UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak mengamanatkan kalau dana CSR diberikan kepada pemerintah, dalam hal ini Pemprov DKI, melainkan kepada masyakat.
"Karena dalam penyaluran CSR, peran Pemprov DKI hanya sebagai regulator yang membantu menyalurkan dana, bukan sebagai pengelola," katanya.
Hal yang sama juga terjadi pada dana dari pengembang untuk pembayaran kelebihan KLB, karena dana itu lagi-lagi tidak disetorkan ke kas daerah, melainkan ke Ahok Centre, dan dikelola oleh Ahok dan kawan-kawan.
Jika dana CSR antara lain digunakan untuk membangun Rusun dan RPTRA, uang dari KLB digunakan untuk membangun Simpang Susun Semanggi.
"Tapi sampai sekarang tak jelas berapa sebenarnya dana dari KLB yang diterima Ahok, dan dari perusahaan mana saja," imbuh Rico.
Nama Jokowi dan Djarot terseret karena pengumpulan dana CSR dimulai sejak Jokowi menjadi gubernur DKI (2012-2014), dan hingga masa pemerintahan Djarot yang hanya sekitar 5 bulan (hingga 15 Oktober 2017), dana CSR tetap tidak disetorkan ke kas daerah dan tetap digunakan untuk membangun RPTRA.
Sementara itu, soal kewajiban pengembang yang menunggak, Rico curiga memang sengaja tidak ditagih Jokowi, Ahok dan Djarot karena bukan rahasia kalau pengembang-pengembang itu yang menyokong Jokowi-Ahok saat memenangkan Pilkada DKI 2012 melawan Foke-Nara.
"Ahok bahkan pernah bilang, kalau tak ada uang Rp1,6 triliun dari pengembang, Jokowi nggak bisa jadi presiden!" tegas Rico.
Meski demikian, aktivis senior ini menilai kalau besarnya tunggakan fasos/fasum itu juga kesalahan REI (Real Estate Indonesia).
"Seharusnya sebagai asosiasi yang mewadahi para pengembang, REI bisa mendorong anggotanya untuk melaksanakan kewajibannya," pungkas Rico. (rhm)







